BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pendidikan bahasa Arab, banyak ilmu-ilmu yang perlu
diketahui, seperti: Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, dan Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
bahasa Arab. Dalam Ilmu Nahwu, banyak materi-materi yang perlu di jelaskan.
Oleh karena itu, penulis membuat makalah
dengan sebuah materi yang berjudul “FI’IL TA’AJJUB”, yang mana
pembahasan ini kami menganggap penting. Meskipun sangat jarang dijumpai fi’il ta’’ajjub sendiri itu dalam bahasa Arab
berarti kekaguman. Namun, untuk lebih lengkapnya, akan dibahas pada bab
selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas,
maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu fi’il ta’ajjub?
2. Bagaimana bentuk-bentuk fi’il ta’ajjub?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, penulis memaparkan beberapa tujuan
yaitu:
1. Untuk mengetahui apa sebenarnya fi’il
ta’ajjub.
2. Sebagai wahana melatih mengungkapkan pemikiran
dalam bentuk tulisan makalah.
3. Makalah yang di tulis ini diharapkan menjadi wahana
tranformasi pengetahuan antara sekolah/perguruan tinggi dengan masyarakat, atau
orang-orang yang berminat membacanya.
4.
Melatih
keterampilan dasar untuk membuat Karya Ilmiah.
5.
Menumbuhkan
etos dikalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu
pengetahuan, terutama setelah penyelesaian studinya.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini
yaitu:
1.
Melatih
untuk mengembangkan keterampilan membaca yang efektif.
2.
Melatih
untuk menggabungkan hasil bacaan dari berbagai sumber.
3.
Mengenalkan
dengan kegiatan kepustakaan.
4.
Memperoleh
kepuasaan intelektual.
5.
Memperluas
cakrawala ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fi’il ta’ajjub
Ta’ajjub berarti
menyatakan kekaguman.[1]
Dari sumber lain, mengatakan bahwa mengherankan keindahan, kemolekannya,
kebesarannya, kemurahan hatinya, maupun hal-hal yang jelek dalam hatinya.[2] Dan
dalam pemaparan lain bahwa fi’il ta’ajjub yaitu perasaan di
dalam hati ketika merasakan adanya suatu hal yang dibodohi penyebabnya.[3]
Fi’il ta’ajjub
mempunyai shigot ada dua macam, yaitu ikut wazan ماافعل (maa
af’ala) dan افعل به
(af’il bih). Kedua shigot ta’ajjub (baik yang ikut wazan ماافعل dan افعل به) itu hukumnya Jamid/Ghairu Muthosarrif (baik yang ikut aslinya
itu dari Fi’il Muthosarrif).
B. Bentuk-bentuk
Fi’il Ta’ajjub
Adapun
bentuk(shigot) dari fi’il ta’ajjub adalah sebagai berikut:
1.
Shigot ماافعل
Adapun contoh dari bentuk ini adalah sebagai berikut:
مَا اَحْسَنَ زَيْدًا = Alankah
baiknya si Said
Lafaz “maa” adalah
mubtada (ini kata khusus
permulaan kata fi’il ta’ajjub) bermakna sesuatu, dan “af’ala” adalah fi’il
madhi (kata kerja lampau bangsa tsulatsi mazid / berasal dari tiga huruf yg
menerima tambahan), sedangkan fa’ilnya (subjeknya) adalah dhamir (kata ganti)
yg tersembunyi wajib disembunyikan, yg kembali kepada “maa”, dan isim yang
dinashabkan adalah “muta’ajjub minhu”, yang berkedudukan sebagai “maf’ul bih”
sedangkan jumlah semuanya adalah khabar dari “maa”.
2.
Shigot افعل به
Adapun contoh dari shigot
ini adalah:
اَحْسِنْ بِزَيْدٍ = Alangkah baiknya sa Said
Lafaz “af’il” adalah
fi’il yang lafaznya berbentuk amar (perintah), tetapi maknanya adalah ta’ajjub (bukan perintah), dan di dalamnya tidak mengandung dhamir.
Sedangkan “bi zaidin” adalah fa’ilnya.
Bentuk asal dari kalimah اَحْسِنْ بِزَيْدٍ (alangkah
baiknya sa Said) adalah اَحْسَنَ زَيْدٌ (si Said menjadi orang yang baik), kemudian bentuknya diubah
menjadi amar, maka dianggap tidak baik bila secara langsung disandarkan kepada
isim zhohir, untuk itulah ditambahkan huruf “ba” pada fa’ilnya.[4]
(Wallohu ‘alam)
Kalimah yang
menyandar/sanding kepada fi’il ta’ajjub wazan ماافعل maka
harus dinashabkan. Contoh seperti مَا اَحْسَنَ زَيْدًا,
ilat sebabnya harus dinashab: karena sesungguhnya “ma’mul maa fi’il ta’ajjub” itu seperti tambahan/fadhlah.
Adapun haknya fadhlah terbukti dinashabkan.
Adapun kalimah kalimah yang
menyandar kepada fi’il ta’ajjub wazan افعل maka kalimah
itu di jarkan ole huruf jar zaidah laziimiyah. Contoh seperti اَحْسِنْ بِ زَيْدٍ
Apabila hendak membuat fi’il ta’ajjub, maka
fi’il itu harus menyamakan beberapa persyaratan. Adapun persyaratannya adalah sebagai
berikut:
a.
Fi’il itu dari fi’il tsulatsi mujarrad
b.
Fi’ill tersebut dapat di tashrif
c.
Artinya bisa menunjukkan arti lebih atau kurang, seperti lebih
besar, lebih kecil, dan sebagainya.[5]
d.
Berasal dari fi’il tam
e.
Fi’ilnya tidak dinafikan/manfi (tidak didahului oleh huruf yang
menunjukkan arti tidak seperti ما)
f.
Tidak boleh fi’il yang mempunyai shigot yang sama kepada wazan افعل
g.
Fi’ilnya tidak boleh majhul
Bilamana membuat
ta’ajjub dari fi’il-fi’il yang tidak mencukupi persyaratan di atas, maka fi’il itu apabila dijadikan fi’il ta’ajjub gantikan saja oleh lafaz اَشْدِدْ atau boleh
lafaz مَااَشَدَّ serta yang semisalnya (اكثر dan اعظم dll) kemudian diambil masdharnya, dan di baca nashab bila jatuh setelah
lafaz مَااَشَدَّ
dan yang lainnya. Dan juga harus di jar dengan الباءالزائدة bila jatuh setelah lafaz اَشْدِدْ dan yang lainnya. Contohnya adalah وَاَعْظِمْ بِاَنْ يُغْلَبَ ,(Alangkah gelap harinya) , وَاَشْدِدْ بِسَوَادِ يَوْمِهِ (Alangkah
bisadikalahkan ia itu).
Tapi jika ada dalam kalimah
bahasa Arab, fi’il yang tidak memenuhi tujuh persyaratan diatas dan tanpa
mendatangkan lafaz اَشْدِدْ dan مَااَشَدَّ serta yang semisalnya, maka itu hukumnya syads, tidak boleh diqiaskan (
jadi hanya terbatas dengan apa yang ada dikalangan orang Arab itu saja, dan
kita tidak dapat membuatnya dari kita sendiri).[6]
Ma’mul fi’il ta’ajjub itu tidak
boleh didahulukan atas fiil ta’ajjubnya. Maka tidak bolh mengatakan seperti
kalimah مَا اَحْسَنَ زَيْدٌ ataupun بِزَيْدٍاَحْسِنْ. Ma’mul tersebut harus bersambung dengan fiil ta’ajjub, tidak boleh
dipisah dengan pemisah apapun kecuali jika berupa huruf atau jar ma’rur yang
keduanya juga menjadi ma’mul dari fiil ta’ajjub, maka para pakar ilmu nahwu
berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak memperbolehkannya.[7]
Adapun perkara antara fi’il
ta’ajjub dengan ma’mulnya dipisah oleh “Huruf Jar”, atau “zhorof” (keterangan
waktu atau tempat), maka fi’il itu hukumnya rebutan kaol.[8] Menurut
sebagian kaol “Jamaatu Nahwiyyin” serta Imam Ajjurumi, boleh dipisah dengan “zhorof”
atau “jar-majrur”. Menurut sebagian lagi tidak boleh, yaitu menurut Imam
Akhfasy dan Imam Mubarrod.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis berusaha menguraikan masalah dalam
setiap babnya penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa fi’il ta’ajjub itu
dipakai untuk menyatakan kekaguman, heran, dsb. Fi’il ta’ajjub ini mempunyai
beberapa persyaratan sebagaimana telah di jelaskan pada pembahasan diatas.
Namun juga ada pengecualian dalam persyaratan tersebut.
B. Saran
Dalam karya tulis ini penulis
berkeinginan memberikan saran kepada pembaca. Dalam pembuatan makalah ini,
penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan–kekurangan baik dari
bentuk maupun isinya. Adapun saran yang ingin di sampaikan penulis yaitu :
1.
Penulis
menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana
pembaca mempelajari tentang menulis ilmiah.
2.
Semoga
dengan karya tulis ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Dayyab
bek Hifni. 1990. Kaidah-kaidah
Bahasa Arab, Surabaya:
Al-Hidayah
Nadwi, M. Mafthuhin Sholeh. 2010. Terjemah Alfiyah Ibnu Malik Juz 3,Surabaya:
Putra Jaya
Http://nahwusharaf.wordpress.com, 30 April 2012
[1] Hifni bek Dayyab, Kaidah-kaidah Bahasa Arab, (Surabaya:
Al-Hidayah, 1990), h. 145
[2] M.Maftuhin Sholeh Nadwi, Terjemah Alifiah ibnu Malik juz 3,
(Surabaya: Putra Jaya, 2010)
[3] Http://nahwusharaf.wordpress.com,
30 April 2012
[4] Http://nahwusharaf.wordpress.com,
30 April 2012
[5] M.Maftuhin Sholeh Nadwi, Terjemah Alifiah ibnu Malik juz 3,
(Surabaya: Putra Jaya, 2010)
[6] Ibid
[7] M.Maftuhin Sholeh Nadwi, Terjemah Alifiah ibnu Malik juz 3, (Surabaya:
Putra Jaya, 2010)
[8] Http://nahwusharaf.wordpress.com,
30 April 2012