Pertemuan terakhir kita beberapa waktu lalu
menyisakan beberapa pertanyaan yang penting di dalam diri saya, terutama
yang berkaitan dengan rasa nyaman dan ketenangan.
Waktu mengajarkan kita bahwa hidup ini sejatinya
adalah sebuah perjalanan panjang dimana bukan hanya tawa kebahagian yang
kita lewati, tetapi justru ingatan akan penderitaan demi penderitaan
yang serasa terus mendatangi. Tawa sukacita hanyalah sebuah perayaan
sejenak ketika kita berhasil melalui akhir dari satu babak penderitaan
yang harus kita jalani, bahkan kadangpun kita lupa untuk merayakannya,
karena sudah banyak tantangan yang di depan yang harus dijalani.
Kawan, saya menganggap diri saya sebagai seorang musafir, seorang
pendatang dan perantau di dunia ini. Tidak ada tempat yang terbaik yang
harus saya diami, selalu saja ada waktu dimana saya harus membongkar
kemah saya atau membungkus secuil perbekalan saya (kalau pun ada) untuk
kemudian melanjutkan perjalan sampai ke tempat yang dirindukan.
Seperti halnya banyak orang lain, saya pun sering
mengira-ngira bahwa sekiranya saya melakukan ini atau itu, atau
mendapatkan ini dan itu, maka saya akan merasa nyaman dan tenang dan
perjalanan say a menjadi lebih mudah. Dengan demikian, saya menjadi
merasa berguna atau saya merasa hebat, tetapi justru itu merupakan
sebuah awal yang salah untuk memulai sebuah perjalanan. Sejatinya saya
tidak lebih hebat dan lebih berguna dengan semua itu, bukan apa yang
saya peroleh dan yang saya kerjakan yang membuat saya hebat, tetapi
sebuah kasih yang menerima saya apa adanya justru yang membuat saya
menjadi pribadi yang berarti.
Kawan, hidup ini penuh dengan ketika sempurnaan.
Hubungan-hubungan yang rapuh, kepahitan, kesendirian, harapan yang tidak
sampai, pengkhianatan, hati yang patah dan hancur, kekecewaan dan semua hal yang sepertinya bagaikan memburu-buru berlelah untuk ketidakpastian dan ketidakcukupan.
Kadang kala justru saya diperhadapkan kepada
beratnya tekanan kehidupan yang membuat berat untuk melangkah dengan
tegap. Banyak sekali beban yang tidak saya harapkan yang justru
membebani saya di dalam melangkah, saya jadi kecut dan tawar hati,
kemarahan memuncak di dalam diri dan siap membakar , tetapi semua itu
justru membuktikan bahwa memang sejatinya diri saya tidak berdaya, saya
bangkrut, rubuh dan patah.
Bukankah kita semua pernah mentertawakan semua
kebodohan kita, kekita kita menjadi sensitif dan menjadi tidak sabar
dengan segala sesuatunya ketika apa yang kita harapkan tidak sampai,
atau merasa kata-kata yang paling bijakmu dari orang lain menjadi sebuah
serangan atas harga diri kita, namun selalu saja kita jatuh di dalam
kesalahan yang sama.
Kita menjadi tidak “jenak” (tenang), tegang dan
hubungan-hubungan dengan sesama kita menjadi hancur. Kita ingin menjadi
pahlawan dengan segala ketidaksempurnaan yang terjadi, tetapi justru
kita malah menjadi pecundang yang tidak berdaya.
Semua itu bagaikan duri di dalam hidup kita, tetapi justru di dalam semua itu kita sejujurnya merindukan anugrah yang memampukan kita mengatasi itu.
Di dalam ketidaksempurnaan saya yang endemik ini,
saya akhirnya menyadari supaya Tuhan yang Maha Sempurna untuk
menganugrahi saya kekuatan untuk mengatasi hal ini.
Selama perjalanan, saya akhirnya sadar bahwa hidup
ini bukanlah tentang saya. Menengok kembali ke belakang, saya terasa
tertohok, bahwa betapa saya di dalam kebodohan yang akut ingin
membuktikan siapa saya di hadapan Tuhan. Saya patut, saya layak, saya
berhak, saya mampu, saya hebat, dan semua peninggian atas diri saya
ingin saya pertaruhkan dihadapan Tuhan, padahal semua itu sampah.
Akhirnya anugrah menjadi tidak berguna bagi orang seperti saya. Saya
orang yang rugi, karena di dalam kemegahan diri saya, saya membuat tidak
bermakna tawaran anugrah Tuhan bagi hidup saya.
Kawan, sebenarnya hati saya miris dan getir ketika
mengingat semua kebodohan itu. Waktu justru membuktikan kepada saya,
bahwa bukan kuat dan gagah saya yang bisa saya andalkan untuk melajutkan
perjalanan kita, tetapi saya membutuhkan kuasa dari tempat yang tinggi
untuk memampukan saya melanjutkan perjalanan ini.
Bukankah perjalanan yang sedang kita lalui ini
sebenarnya justru sebagai sebuah pembuktian tentang siapa Tuhan, Tuhan
yang dapat diandalkan di dalam setiap langkah perjalanan yang kita lalui
bersama.
Tetapi ketika hidup ini berlalunya
terburu-buru, maka saya pun tahu bahwa saya tidak mempunyai kuasa untuk
mengendalikan apa yang terbaik bagi diri saya.
Saya ingat kata-kata yang pernah suatu kali aku dengar, “di dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu”.
Sulit rasanya menerapkan kata-kata bernas itu.
Seorang pernah mengatakan kalau hati ini, jiwa ini itu seperti monyet,
tidak pernah tenang bertengger di satu dahan, selalu melompat kesana
kemari berayun-ayun tiada henti melompat dari satu pohon ke pohon
lainnya. Kita tersenyum tidak rela ketika jiwa kita digambarkan seperti
halnya seekor monyet, tetapi fakta mengatakan memang betapa sulitnya untuk membuat jiwa kita tenang dan percaya.
Akhirnya saya menyadari, sikap tinggal tenang merupakan sebuah pilihan kehidupan. Tinggal tenang adalah sebuah langkah iman.
Sebagai musafir, kadang saya merasa sendiri, tetapi
sebenarnya saya tidak sendiri, ada Tuhan yang beserta kita. Tuhan
beserta kita. Itu adalah kata-kata yang sakti dan rahasia. Memahami rahasia kata
itu seperti kita mengecap indahnya kemuliaan Tuhan yang disingkapkan di
dalam hidup kita. Bukankah hal itu yang akhirnya membuat kita memilih
untuk tenang dan percaya.
Kawan, saya akhirnya perlu untuk berkata kepada
jiwa saya, “mengapa engkau tertekan hai jiwaku dan gelisah di dalam
diriku?” Ya mengapa? Tidak ada alasan saya untuk tertekan dan gelisah
ketika saya menggantungkan kehidupan saya kepada Tuhan.
Kadang saya agak dibingungkan, apa ini sebuah
nasihat, sebuah janji atau sebuah perintah? Tetapi itu tidak menjadi
persoalan lagi ketika yang mengatakan hal ini adalah Tuhan yang penuh
kasih dan kemurahan, yang siap merengkuhkan tanganNya untuk menolong dan
menopang saya ketika saya pun hanya mempunyai senoktah iman untuk
mempercayaiNya.
Kepercayaan itu membangkitkan kekuatan, tetapi juga
kerendahan hati yang sejati. Di dalam jiwa yang rendah hati, kenyaman
dan ketenangan yang sempurna bersemayam, dan kekuatan untuk menghadapi
persoalan kehidupan menemukan gairahnya. Kekuatan itu melahirkan
kelemahlembutan, dan kelemahlembutan itu mengatasi segala rintangan.
Kawan, saya menyadari bahwa jiwa saya seharusnya
selalu merindu Tuhan. Merindu Tuhan merupakan sebuah energi yang tiada
habisnya yang senantiasa memotivasi perjalan seorang musafir. Bukankah
kerinduan itu membuat jiwa kita bergetar-getar menanti-nantikan saatnya
penemuhan itu tiba, menjadi bunga-bunga yang berseri di taman sari hati,
membuat wajah dan hidup kita merona menantikannya.
Adalah merupakan sebuah anugrah yang menguatkan jikalau
ada kawan seiring yang selalu bersama berbagi dalam perjalanan ini,
namun tidak selamanya hal itu terjadi, Kawan. Ada kalanya kita
membutuhkan kesendirian untuk akhirnya bisa memahami dengan sempurna
ketenangan, kecukupan dan kenyamanan yang sejati. Bukankah jikalau Dia beserta kita, itu cukup bagi kita?
Kawan, selamat melanjutkan perjalanan. Doa syukur dan harapan pada Tuhan aku naikkan supaya perjalanan kita semua sampai dengan sempurna.